Bisakah luka yang teramat dalam ini nanti akan sembuh?
Bisakah kekecewaan
bahkan keputusasaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita
ini pada akhirnya nanti akan kikis?
Adakah kemungkinan kita
akan bisa merangkak naik ke bumi dari jurang yang teramat curam dan dalam?
Akankah api akan
berkobar-kobar lagi?
Apakah asap akan
membumbung lagi dan memenuhi angkasa tanah air?
Akankah kita semua akan
bertabrakan lagi satu sama lain?
Jarah menjarah satu
sama lain dengan pengorbanan yang tidak akan terkirakan?
Adakah kemungkinan kita
tahu apa yang sebenarnya sedang kita jalani?
Cakrawala yang manakah
yang menjadi tujuan sebenarnya dari langkah-langkah kita?
Pernahkah kita bertanya
bagaimana cara melangkah yang benar?
Pernahkah kita mencoba
menyesali?
Hal-hal yang barang
kali perlu disesali dari perilaku-perilaku kita yang kemarin?
Bisakah kita
menumbuhkan kerendah hatian di balik kebanggaan-kebanggaan?
Masih tersediakah ruang
di dalam dada kita dan akal kepala kita untuk berkata pada diri kita sendiri
bahwa yang bersalah bukan hanya mereka?
Bahwa yang melakukan
dosa bukan hanya ia tetapi juga kita.
Masih tersediakah
peluang di dalam kerendahan hati kita untuk mencari apapun saja yang kira-kira
kita perlukan meskipun barang kali menyakitkan diri kita sendiri?
Mencari hal-hal yang
kita benar-benar butuhkan agar supaya sakit (3x) kita ini benar-benar sembuh
total.
Sekurang-kurangnya
dengan perasaan santai kepada diri sendiri untuk menyadari dengan sportif bahwa
yang mesti disembuhkan itu nomer satu bukan yang diluar diri kita tetapi di
dalam diri kita.
Yang kita perlu utama
lakukan adalah penyembuhan diri, yang kita yakini bahwa harus betul – betul
disembuhkan itu justru adalah segala sesuatu yang berlaku dalam hati dan akal
fikiran kita...
Saya ingin
mengajak engkau semua untuk memasuki dalam dunia ilir-ilir
Lir ilir tandure wus sumilir
Lir ilir tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak sengguh temanten
anyar
Bocah angon bocah angon
penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekno
kanggo mbasuh dodot-iro
Dodot-iro dodot-iro
lumintir bedah ing pinggir
Dondomono jlumatono
kanggo sebo mengko sore
Mumpung jembar
kalangane
Mumpung padang
rembulane
Yo surako
Surak: iyooo!
Lir ilir lir ilir
tandure wus sumilir, tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar :
Kanjeng Sunan Ampel
seakan-akan baru hari ini bertutur pada kita tentang kita. Tentang segala
sesuatu yang kita mengalaminya sendiri namun tak kunjung kita sanggup untuk
mengerti. Sejak lima abad yang silam syair itu telah ia lantunkan dan tak ada
jaminan kita telah paham. Padahal kata-kata beliau itu mengeja kehidupan kita
sendiri alfa, beta, alif, ba', tha' kebingungan sejarah kita dari hari ke hari.
Sejarah tentang sebuah negeri yang puncak kerusakannya terletak pada ketidak
sanggupan para penghuninya untuk megakui betapa kerusakan itu sudah tidak
terperi
Menggeliatlah dari
matimu tutur sang sunan, siumanlah dari pingsan berpuluh-puluh tahun,
bangkitlah dari nyenyak tidur panjangmu sungguh negeri ini adalah penggalan
sorga. Sorga seakan-akan pernah bocor mencipratkan kekayaan dan keindahannya
dan cipratan keindahannya itu bernama Indonesia raya. Kau bisa tanam benih
kesejahteraan apa saja diatas kesuburan tanahnya yang tidak terkirakan. Tidak
mungkin kau temukan makhluk tuhanmu kelaparan di tengah hijau bumi kepulaan
yang bergandeng-gandeng mesra ini. Bahkan bisa engkau selenggarakan dan rayakan
pengantin-pengantin pembangunan lebih dari yang bisa dicapai negeri-negri lain
yang manapun. Tapi kita memang telah tidak mensyukuri rahmat sepenggal surga
ini kita telah memboroskan anugerah tuhan ini melalui cocok tanam ketidak
adilan dan panen-panen kerakusan
Cah angon - cah angon
penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo mbasoh dodot-iro
Kanjeng sunan tidak
memilih figur misalnya pak jendral, juga bukan intelektual-intelektual,
ulama-ulama, sastrawan-sastrawan atau senian-seniman atau apapun tapi cah angon
(2x). Beliau juga menuturkan penekno blimbing kuwih, bukan penekno pelem kuwih,
bukan penekno sawuh kuwih, juga bukan buah yang lain tetapi blimbing bergigir
lima terserah apa tafsirmu mengenai lima yang jelas harus ada yang memanjat
pohon yang licin itu lunyu-lunyu penekno agar belimbing bisa kita capai
bersama-sama. Dan yang harus memanjat adalah bocah angon anak gembala, tentu
saja boleh siapa saja, ia boleh seorang doktor, boleh seorang seniman, boleh
seorang kyai, boleh seorang jenderal atau siapapun. Tapi dia harus mempunyai
daya angon, daya untuk menggembalakan, kesanggupan untuk ngemong siapa pun,
karakter untuk merangkul dan memesrai siapa saja sesama saudara sebangsa.
Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama, pemancar kasih
sayang dibutuhkan dan diterima semua warna, semua golongan dan semua
kecenderungan. Bocah angon adalah seorang pemimpin nasional bukan tokoh
golongan atau pemuka suatu gerombolan. Selicin apapun pohon-pohon tinggi
reformasi ini sang bocah angon harus memanjatnya harus dipanjat sampai selamat
memperoleh buahnya bukan ditebang, dirobohkan atau diperebutkan dan air sari
pati belimbing lima gigir itu diperlukan bangsa ini untuk mencuci pakaian
nasionalnya. Pakaian adalah akhlak, pakaian adalah sesuatu yang menjadikan
manusia bukan binatang. Kalau engkau tidak percaya berdirilah di depan pasar
dan copotlah pakaianmu maka engkau kehilangan segala macam harkatmu sebagai
manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah
pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Sistem nilai itulah yang harus
kita cuci dengan pedoman lima
Dodoth-iro dodoth-iro kumitir bedah ing pinggir, dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Dodoth-iro dodoth-iro kumitir bedah ing pinggir, dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padang
rembulane mumpung jembar kalangane yo surako - surak iyooo
Pakaian kebangsaan
kita, harga diri nasionalime kita, telah sobek-sobek oleh tradisi penindasan,
oleh tradisi kebodohan, oleh tradisi keserakahan yang tidak habis-habis.
Dondomono, jlumatono kanggo sebo mengko sore, harus kita jahit kembali, harus
kita benahi lagi, harus kita utuhkan kembali agar supaya kita siap untuk
menghadap ke masa depan. Memang kita sudah lir-ilir, sudah ngelilir sudah
terbangun dari tidur, sudah bangun, sudah bangkit sesudah tidur terlalu nyenyak
selama 30 tahun atau bahkan mungkin lebih lama dari itu. Kita memang sudah
bangkit beribu-ribu kaum muda berjuta-juta rakyat sudah bangkit keluar rumah
dan memenuhi jalanan, membanjiri sejarah dengan semangat menyeruak kemerdekaan
yang telalu lama diidamkan. Akan tetapi mungkin karena terlalu lama kita tidak
merdeka sekarang kita tidak begitu mengerti bagaimana mengerjakan kemerdekaan sehingga
tidak begitu paham beda antara demokasi dan anarki. Terlalu lama kita tidak
boleh berfikir lantas sekarang hasil fikiran kita keliru-keliru sehingga tak
sanggup membedakan mana asap mana api, mana emas mana loyang mana nasi dan mana
tinja. Terlalu lama kita hidup dalam ketidak menentuan nilai lantas menjadi
semakin kabur pandangan kita akan nilai-nilai yang berlaku dalam diri kita
sendiri sehingga yang kita jadikan pedoman kebenaran hanyalah kemauan kita
sendiri, nafsu kita sendiri, kepentingan kita sendiri. Terlalu lama kita hidup
dalam kegelapan sehingga kita tidak mengerti melayani cahaya sehingga kita
tidak becus mengurusi bagaimana cahaya terang sehingga dalam kegelapan gerhana
rembulan yang membikin kita buntu sekarang kita junjung-junjung pengkhianat dan
kita buang para pahlawan. Kita bela kelicikan dan kita curigai ketulusan.
Gerhana rembulan hampir
total, malam gelap gulita. Matahari berada satu garis dengan bumi dan rembulan.
Cahaya matahari yang memancar ke rembulan tidak sampai karena ditutupi oleh
bumi sehingga bulan tidak bisa memantulkan cahaya matahari ke permukaan bumi.
Matahari adalah lambang Tuhan, cahaya matahari adalah rahmat nilai kepada bumi
yang semestinya dipantulkan oleh rembulan. Rembulan adalah para keasih Allah,
para nabi, para rasul, para ulama, para cerdik-cendikia, para pujangga dan
siapapun saja yang memantulan cahaya matahari atau nilai-nilai Allah untuk
mendayagunakannya di bumi. Karena bumi menutupi cahaya matahari maka malam
gelap gulita dan di dalam kegelapan segala yang buruk terjadi. Orang tidak bisa
menatap wajah orang lainnya secara jelas. Orang menyangka kepala adalah kaki,
orang menyangka utara adalah selatan. Orang bertabrakan satu sama lain. Orang
tidak sengaja menjegal satu sama lain atau bahkan sengaja saling menjegal satu
sama lain. Di dalam kegelapan orang tidak punya pedoman yang jelas untuk
melangkah akan kemana melangkah dan bagaimana melangkah.
Ilir-ilir, kita memang
sudah ngelilir, sudah bangkit, sudah bangun bahkan kaki kita sudah berlari
kesana kemari namun akal fikiran kita belum, hati nurani kita belum, kita masih
merupakan anak dari orde-orde yang kita kutuk di mulut namun ajaran-ajarannya
kita biarkan hidup di dalam darah dan jiwa kita. Kita mengutuk perampok dengan
cara mengincarnya untuk kita rampok balik, kita mencerca maling dengan penuh
kedengkian kenapa bukan kita yang maling. Kita mencaci penguasa lalim dengan
berusaha untuk menggantikannya. Kita membenci para pembuat dosa besar dengan
cara syetan yakni dengan cara melarangnya untuk insyaf dan bertobat. Kita
memperjuangkan gerakan anti penggusuran dengan cara meggusur. Kita menolak
pemusnahan dengan cara merancang pemusnahan-pemusnahan. Kita menghujat para
penindas dengan riang gembira sebagaimana cara iblis yakni kita halangi untuk
memperbaiki diri. Siapakah selain iblis, syetan dan dajjal yang menolak khusnul
khotimah manusia yang memblokade pintu surga, yang menyorong mereka ke pintu
neraka. Sesudah ditindas kita menyiapkan diri untuk menindas. Sesudah
diperbudak kita siaga untuk ganti memperbudak. Sesudah diancurkan kita susun
barisan untuk menghancurkan.
Yang kita bangkitkan bukan pembaharuan-kebersamaan melainkan asyiknya perpecahan. Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan tapi menggelegaknya kecurigaan. Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan melainkan parasangka dan fitnah. Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka melainkan rencana-rencana panjang untuk menyelenggarakan perang saudara. Yang kita kembang suburkan adalah kebiasaan untuk memakan bangkai saudara-saudara kita sendiri. Kita tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta melainkan mempersempit dunia kita sendiri dengan lubang-lubang kebencian dan iri hati. Pilihanku dan pilihanmu adalah apakah kita akan menjadi bumi yang akan mempergelap cahaya matahari sehingga bumi kita sendiri tidak akan mendapatkan cahayanya. Atau kita akan berfungsi menjadi rembulan, kita sorong diri kita bergeser ke alam yang lebih tepat agar kita bisa apatkan sinar matahari dan kita pantulkan nilai-nilai Tuhan itukembali ke bumi.
Satu tembang tidak selesai ditafsirkan dengan seribu jilid buku. Satu lantunan syair tidak selesai ditafsirkan dengan seribu bulan dan seribu orang melakukannya. Aku ingin mengajakmu untuk berkeliling utuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dengan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing. Agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita, apa muatan kalbu mereka mengenai lir-ilir, mengenai ijo royo-royo, mengenai tementen anyar, mengenai bocah angon dan belimbing, mengenai mbasuh dodotiro dan mengenai gumitir bedah ing pinggir.
Yang kita bangkitkan bukan pembaharuan-kebersamaan melainkan asyiknya perpecahan. Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan tapi menggelegaknya kecurigaan. Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan melainkan parasangka dan fitnah. Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka melainkan rencana-rencana panjang untuk menyelenggarakan perang saudara. Yang kita kembang suburkan adalah kebiasaan untuk memakan bangkai saudara-saudara kita sendiri. Kita tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta melainkan mempersempit dunia kita sendiri dengan lubang-lubang kebencian dan iri hati. Pilihanku dan pilihanmu adalah apakah kita akan menjadi bumi yang akan mempergelap cahaya matahari sehingga bumi kita sendiri tidak akan mendapatkan cahayanya. Atau kita akan berfungsi menjadi rembulan, kita sorong diri kita bergeser ke alam yang lebih tepat agar kita bisa apatkan sinar matahari dan kita pantulkan nilai-nilai Tuhan itukembali ke bumi.
Satu tembang tidak selesai ditafsirkan dengan seribu jilid buku. Satu lantunan syair tidak selesai ditafsirkan dengan seribu bulan dan seribu orang melakukannya. Aku ingin mengajakmu untuk berkeliling utuk memandang warna-warni yang bermacam-macam dengan membiarkan mereka dengan warnanya masing-masing. Agar kita mengerti dengan hati dan ketulusan kita, apa muatan kalbu mereka mengenai lir-ilir, mengenai ijo royo-royo, mengenai tementen anyar, mengenai bocah angon dan belimbing, mengenai mbasuh dodotiro dan mengenai gumitir bedah ing pinggir.
Yang akan kita
bicarakan tentu saja kapan saja bersama-sama.tapi aku ingin mengajakmu untuk
mendengarkan siapa saja diantara sauara-saudara kita tanpa perlu kita
larang-larang untuk menjadi ini-untuk menjadi itu. Asalkan kita bersepakat
bahwa bersama-sama mereka semua kita akan menyumbangkan yang terbaik untuk
semuanya bukan hanya bagi ini-bagi itu bukan hanya bagi yang disini atau yang
disana...
By : Cak Nun
ConversionConversion EmoticonEmoticon